K.H. Hasyim Asy’ari merupakan tokoh pendiri Pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan Islam di pesantren, K.H. Hasyim Asy’ari juga mengajarkan para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
K.H. Hasyim Asy’ari lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur pada 10 April 1875. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, K.H. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari sebelas bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kiai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu, mendorong ia untuk belajar lebih giat. Tidak puas dengan ilmu yang diterimanya, sejak berusia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Ia mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, dan Panji (Sidoarjo). Di Pesantren Siwalan, ia belajar kepada Kiai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.
Pada 1892, Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekkah. Di sana, ia berguru kepada Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib, dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia. Ia pun mengajar di sana. Pada 1899, ia pulang ke Indonesia dan K.H. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad ke-20. Sejak 1900, K.H. Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.
Di Pesantren Tebuireng, para santri belajar membaca huruf latin, menulis, dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Namun, ia mendapat tanggapan kurang baik di masyarakat sebab dianggap bid’ah. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Ia berusaha mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat. Hal itu adalah salah satu tujuan utama perjuangannya. Pesantren Tebuireng menjadi masyhur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.
Pada 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, K.H. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti Kebangkitan Ulama. Organisasi ini pun berkembang pesat dan merekrut banyak anggota. Pengaruh K.H. Hasyim Asy’ari pun makin besar dengan mendirikan organisasi NU bersama teman-temannya. Hal itu dibuktikan dengan dukungan dari para ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaannya. Kini, NU pun berkembang makin pesat.
Meskipun menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Hal yang paling dibencinya adalah perpecahan kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang besar asalkan ia mau bekerja sama. Namun, ia menolaknya dengan tegas.
Pada masa awal pendudukan Jepang, K.H. Hasyim Asy’ari ditangkap dengan alasan yang tidak jelas. Namun, berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan. Sesudah itu, ia diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa. Walaupun begitu, ia tetap mengasuh Pesantren Tebuireng.
Sosok K.H. Hasyim Asy’ari yang kharismatik dan berwibawa, membuat ia mendapat banyak dukungan saat memimpin Nahdlatul Ulama. K.H. Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947 dan dimakamkan di Tebuireng. Atas jasa-jasanya, pemerintah menganugerahi Pahlawan Kemerdekaan Indonesia kepada beliau.
*) Dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar